Lambatnya penyerapan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010 disebabkan pemerintah tidak punya instrument dan birokrasi yang efektif. Akhirnya, peran anggaran sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi tidak bisa efektf.
Hal itu diungkapkan oleh ekonom Indef Didik J Rachbini di Jakarta, akhir pekan lalu. Ia mengatakan hal tersebut akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia jika terus dibiarkan. Dengan birokrasi seperti ini, dunia usaha juga terimbas seperti kesulitan dalam membuka usaha karena proses keluarnya izin bisa berbulan-bulan. “Bandingkan dengan Singapore yang hanya butuh tiga hari dan Malaysia lima hari,” tegasnya.
Didik mengkritisi perilaku birokrat yang waktunya banyak tersita untuk urusan politik. Karena itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi diangka 6% bukan merupakan prestasi sebgai hasil efektivitas pemerintahan. Pencapaian itu lebih disebabkan tren pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia yang naik akibat resensi ekonomi di Eropa. “Tidak ada langkah progresif dari pemerintah. Buktinya untuk belanja APBN-P juga rendah,” tegasnya.
Sebelumnya, pemerintah mencatat penyerapan belanja APBN-P 2010 hingga 30 November 2010 baru 72,6% atau Rp 817,2 triliun. Padahal, akhir tahun fiscal 2010 hanya sampai 24 Desember.
Sementara itu, ekonomi dari Econit Henri Saparni menilai rendahnya penyerapan APBN-P 2010 disebabkan rendahnya manajemen fiscal pemerintah. Bahkan, tahun ini terbukti lebih buruk. Padahal, dengan belanja yang lebih cepat, kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi akan lebih besar.
“Kontribusi APBN terhadap produk domestic bruto Indonesia masih kecil (17,8%), malah tidak optimal. Bandingkan dengan Negara tetangga, baik Singapore maupun Malaysia yang sudah diatas 20%,” tukasnya.
(sumber : Media Indonesia, “Ekonomika” 13 December 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar